Ke tanah.


...manakala ia terjebak...
...pada tebing yg tinggi.
Tanpa dasar.
Ia mencintai dirinya sendiri.
Namun ia lelah.
Lelah mencari seseorang...
...yang cintanya begitu besar, bahkan lebih dari dirinya sendiri.
...karena jangankan untuk berbagi.
Ketika untuk merasa dicintai sedikit saja, ia memerlukan dunia dan seisinya.
Maka mampukah ia?
Ia tahu, ia tidak bisa berbagi.

Ia hanya ingin damai dalam dirinya.
Ia hanya ingin tinggal di sebuah gubug kecil yang tenang.
Tanpa beban.
Tanpa apapun untuk dirisaukan.
Hanya ia, dan tetes hujan.
Yang jatuh dengan pasrah.
Ke tanah.





Category: 0 komentar

Terlalu Rindu.

Dulu ku kenal rindu hanyalah sebagai kata.
Sebuah kata pendek untuk menggambarkan perpisahan yang menimbulkan rasa tidak nyaman, dengan jarak sebagai elemen utama.
Aku kira sakitnya didera rindu hanyalah mitos belaka.
Sampai aku mengenalmu, Bisma.

Berulang kali kuruntuki jarak yang teramat jauhnya.
Tiada henti kubenci perpisahan yang merenggutmu dari pandangan mata.
Lagi-lagi kusesali mengapa kita bernaung di kota yang berbeda.
Ya, sudah kurasakan sendiri, rindu memang menyiksa.
Aku kena batunya.

Bisma, Bisma, Bisma..
Tertinggal di mana sayapmu, hingga kau teramat wajarnya terlihat seperti manusia biasa?
Jujur aku ingin sekali memergoki engkau melepas sayapmu, supaya aku yakin senyum di bibirmu itu tidaklah pantas dimiliki makhluk fana.
Ya...kau terlampau sempurna. 

Sejak pertemuan pertama kita di ujung senja, wajahmu dengan brutal muncul tiada henti.
Jangankan untuk menulis, memilih menu makanan pun rasanya sangat sukar aku berkonsentrasi.
Otak ini penuh sesak dengan pahatan garis rahang dan mata elokmu yang melecut imaji.
Ah...lalu aku harus bagaimana lagi?

Aku rindu senyum sempurna dari sudut bibirmu.
Aku rindu sepasang mata teduhmu yg sukses mengacaukan ritme jantungku sementara waktu. 
Aku rindu hangat telapak tanganmu yg membuatku enggan melepaskannya walaupun tersipu.
Aku rindu rahang indahmu yg diukir entah dengan cara apa hingga mampu membuatku terpaku.
Intinya, aku rindu kamu.
Iya. Aku rindu.




Category: 0 komentar

Aku, Kau, dan Rendezvous Kita di Ujung Senja

Tentang aku...
Yang mengenalmu di penghujung senja.
Kala aku duduk sendiri termenung menghitung gulungan ombak tanpa bosan.
Menatap cakrawala jingga yg memukau.
Di suatu pantai dgn matahari terbenam yg terlampau indah.
Yang kemudian tanpa sengaja, cahaya matahari terakhir sebelum bagaskara terbenam, membias di antara lembut lekuk wajahmu...
Aku membeku.
Aku hanya tahu, aku telah jatuh mendamba, aku jatuh cinta.
Pada saat itu juga.

Lalu saat kau dengan tiba-tiba memalingkan kepalamu, ke arahku.
Kau rekah senyum, yg Demi Tuhan, terlalu indah jika dimiliki oleh seorang manusia biasa.
Yang menyelisipkan sedikit curiga di hatiku, mungkinkah kau malaikat yg sedang menyamar.
Ah...aku meracau.
Kau berjalan ke arahku, memberikan senyum kedua yg membuatku ternganga.
Tubuhku dingin bagai sebatang bambu yg tertancap di tengah kali dan terkena arus deras air.
Kau berkata, "Hai....aku Bisma".
Tiga detik jantungku berhenti, karena suaramu yg begitu merdu.
Tergagap aku menimpali, "Oh! Hai...aku Kirana".
"Boleh aku duduk di kursi kosong sampingmu? Semua kursi penuh, aku hanya ingin menikmati sunset yg menakjubkan ini. Itu pun, jika kau tidak keberatan", kau bilang.
Dengan sangat salah tingkah, aku katakan "Tentu saja aku tidak keberatan. Silakan duduk dan menikmati sunset ini".
Kau ucapkan terima kasih, dengan mata yg berbinar.
Tak lupa kau rekahkan kembali senyum beracunmu, yg membuatku merasa seperti baru saja meminum 3 liter kopi hitam dgn kadar kafein tinggi.
Ya, aku tahu.
Aku akan terjaga sepanjang malam, karena efek kafein dalam senyummu, yg kelewat manis dan membuatku mencandu.

Kau tatap matahari yg mulai menghilang.
Oh Tuhan....
Aku merasa matahari ada dua.
Satu matahari yg sedang tenggelam di ujung laut sana, satu lagi sedang duduk di sampingku.
Fokusku terpecah.
Matahari tenggelam tidak tampak terlalu menarik lagi untuk aku perhatikan.
Aku lebih tergoda melirikmu diam-diam dan memperhatikan betapa sempurnanya Tuhan menciptakanmu.
Aku yakin kau makhluk kedua terindah di jagad ini.
...karena jika kau yg terindah, aku yakin Tuhan akan menyimpanmu utk Dia sendiri.
Tidak, aku baru saja sadar.
Bukan matahari terbenam hal terindah yg bisa dinikmati mata  ini.
Namun melihat bias terbenamnya matahari yg membaur dgn sempurna di paras elokmu.
Iya. Itulah hal terindah di mataku kini...



Category: 0 komentar

Hitam

Ku buka mataku.
Tak ku lihat lagi keindahan itu.
Kepingan rasa itu telah musnah dari hatimu.
Terserak semua serpihan di padang jiwa.

...dan renungan kembali bergulir.
Hampa.
Pernah memiliki, namun berlalu terhapus waktu.
Berdiri, mencoba berdiri. 
...di atas teguhku.
Tiada dayaku.
Hancur. 
Remuk.
Lantak.

...ku cari apa yg tersisa di lembayung senja.
Sudah lewat, semua yg pernah kau janjikan.
Aku luruh dalam keriangan semu yg kau hadirkan.
Semua telah redup.
Lalu mati.

Category: 0 komentar

Bulan dan Matahari.

It feels like.... a long time... very very long time....

Entah...sejak kapan hatiku hilang ditelan laut. Atau ditelan gunung. Atau entah ditelan malam.
Aku tidak pernah menulis lagi. Puisiku terasa kosong, tulisanku hambar saja. 
Tidak ada yang bisa kubagi, pada dunia.
Apakah hatiku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta yg sesungguhnya?
Atau ia hiatus dan mengasingkan diri karena sudah bosan dengan apa yg dilaluinya?
Percayalah aku pun tidak tahu jawaban pasti dari itu...

Sampai aku bertemu matahari.
Yang aku temukan tanpa sengaja. 
Ketika hatiku bahkan tidak berharap menemukan apapun untuk menyinari gelapnya.
Aku nyaman dalam hatiku yg dingin, yg tanpa rasa.
Aku merasa semua damai, semua tenang. Kendati begitu beku...

...dan aku melihatnya. Untuk pertama kali.
Hatiku berbisik pada diriku sendiri, "Tidakkah kau rasa, sesuatu, bulan?".
Aku masih menatapnya lekat-lekat.
Aku berusaha menemukan. Apa? Mengapa? Benarkah? Mengapa harus kau, matahari?

Aku awali semua dengan sulit. Aku buat kau pontang-panting menembus benteng yg aku buat.
Ya...aku dan semua hal yg begitu sempurna ku susun. Untuk menggagalkan siapapun masuk.
...karena aku tahu. Ketika benteng itu runtuh, hatiku tidak lagi dingin.
Ia akan merasakan banyak sekali hal yg berusaha aku hindari.

Aku membuat benteng makin tinggi, ku lipatgandakan semua penjagaan.
Agar kau gagal. Agar aku kembali dikecewakan oleh perasaanku sendiri.
Agar aku tidak jatuh cinta, padamu, matahari...

Yang aku ingat hanyalah, kau tidak pernah menyerah...
Kau kerahkan semua daya upaya, kau lakukan semua yg kau bisa.
Untuk meruntuhkan bentengku, untuk meraihku...
...dan kau berhasil. Semua usahamu tidak sia-sia.

Aku mencintaimu. Sangat. Amat.
Aku berdiri di antara puing reruntuhan benteng yg kubangun.
Aku berdiri dengan senyum termanis, sekaligus terpahit yg pernah disunggingkan bibirku.
Aku berdiri, menyambutmu datang setelah menghancurkan semua pertahanan yg kubuat untuk melindungi diriku.
Dan aku memelukmu erat...
Kendati aku tahu....
Aku akan terbakar habis, oleh panasmu. 
Aku akan hancur dalam serpihan, dalam asaku, memilikimu.
Aku hanya tahu, aku telah jatuh.
Mencintaimu.





Category: 0 komentar

Malam Pratoga-mu dan Kamu

...Let me hold your hand....

...so we can go around and cross the land...

...nothing's gonna change how much you mean to me....

Now I know, we're meant to be...



17 Maret 2017

        Malam ini adalah salah satu dari sedikit malam yang akan aku ingat. Ya, malam ini adalah malam Gala Dinner Pratoga-mu. Dan kau, telah berbaik hati mengundang aku sebagai pendampingmu malam ini. Kau tahu rasanya? Tidak terdeskripsikan.

         Aku selalu lupa tentang banyak hal. Aku akui aku memang ceroboh. Aku ingat sekali, aku sudah berkali-kali menanyakan kapan kau akan wisuda. Sampai untuk ke-entah-berapa-kalinya aku menanyakan kau wisuda, akhirnya kau bilang, "Tanggal 18 Maret, Sayang. Kamu lupa lagi? Kamu udah tanya berkali-kali". Aku pun langsung mengambil sebuah spidol dan memberikan bulatan pada tanggal wisudamu. Tentu saja supaya aku tidak lupa lagi....dan tidak kena semprot kamu. Hehe.


Menjelang hari wisudamu, kau menceritakan bahwa akan ada malam Pratoga, di mana calon wisudawan dan wisudawati seangkatanmu akan dikumpulkan untuk menerima tanda kelulusan. For the first time, aku agak bingung. Pratoga terdengar asing (karena di UII tidak ada malam semacam itu). Lalu kau jelaskan padaku apa itu malam Pratoga. Baru aku paham bahwa itu adalah semacam seremonial sebelum besok calon wisudawan dan wisudawati melaksanakan wisuda yang sesungguhnya. Kau bilang nanti kau akan datang dengan orangtuamu dan kemungkinan kita tidak akan bertemu untuk Jumat, Sabtu dan Minggu. Ya ya ya. Untuk kita yang bertemu hampir setiap hari, tidak bertemu 3 hari rasanya sangat menyiksa. Sungguh, aku tidak melebih-lebihkan. Bagaimana tidak, kita sudah bertemu tiap hari-pun, tiap malam kita masih saling menelpon hingga kita tertidur dalam kondisi telpon masih menyala sampai dia bosan dan mematikan dirinya sendiri.


Hari Rabu kau mengajakku ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli kemeja hitam yang akan kau kenakan pada malam Pratoga. Kita berputar-putar mencari baju yang akan kau kenakan. Setelah mencoba 3 baju yang hampir sama, akhirnya kau memutuskan membeli kemeja dengan merk sama seperti kemeja putih yang biasa kau gunakan hari Kamis. Ketika kau mencobanya, kau sangat amat tampan. Sumpah, aku tidak bohong. Kau sangat tampan memakainya...

        Lalu hari Kamis, mendadak kau bilang bahwa kau sedang memikirkan keumgkinan untuk datang ke malam Pratoga bersama denganku. Sedikit terkejut aku dibuatnya karena aku merasa aku tidak berhak mendapatkan kehormatan itu. Kita baru bersama 6 bulan dan kehormatan mendampingimu harusnya orangtuamu. Tapi kau menambahkan bahwa kemungkinan besar kau akan mengajak mereka jika memang diperbolehkan membawa pendamping lebih dari 1. I didn't expect anything, I swear. Aku sangat amat rela jika mereka mendampingimu di sana karena memang itu sudah seharusnya begitu.

        Jumat pagi kau membicarakan hal yang sama terkait itu. Kau bilang aku (mungkin) harus bersiap jika saja kau memintaku hadir mendampingimu malam ini. Aku...speechless. Aku tidak melakukan persiapan apapun, btw. Tidak membeli baju. Tidak mencari sepatu. Tidak google tentang tatanan rambut atau make up apa yang harus aku pakai nantinya (jika benar-benar harus mendampingimu). Kau dengan santai bilang, "Bajumu di lemari itu sudah banyak sekali, Sayang. Coba pilih satu. Ini temanya black, dan sebagian besar bajumu warnanya hitam kan?". Aku hanya menatap kosong ke arahmu dan berpikir baju yang mana yang pantas aku kenakan untuk menemanimu. Masih dengan segala kegalauan itu, aku diam-diam berharap kau mengajak orangtuamu saja...

          Jumat sore sekitar jam 3, kau mengabarkan bahwa kau akan mengajakku. Aku antara panik, shock, makin galau, senang, campur aduk. Aku makin galau karena acara dimulai pukul 16.30 dan pada jam 16.30 aku baru bisa keluar kantor. Aku super bingung harus bagaimana karena takut kamu terlambat menghadiri acara. Aku tadi terlambat sekitar 2 menit, tapi demi mengejar hadir tepat waktu di wisudamu, aku sudah berdiri ngejogrok di depan absensi sejak jam 16.29.20. Oh My God! Masih kurang 40 detik lagi. Itu rasanya 40 detik terlama yang pernah aku alami. Cuma menunggu supaya bisa absen tepat waktu dan segera pulang untuk bersiap pergi denganmu. Akhirnya pukul 16.30 juga dan aku segera absen. Aku segera pulang dan mandi. Tepat ketika aku mandi, aku mendengar suara mobilmu yang baru memasuki gang rumahku. Aku sengaja tidak mengunci pintu karena aku tahu kamu pasti akan datang menjemput. Tepat selesai aku mandi, aku jadi makin panik. Rambutku masih basah karena aku keramas. Aku belum memutuskan mau memakai baju yang mana. Kau bilang pakai apa aja boleh. Dan aku ingat ada satu black peplum top yang pernah aku beli dan belum sempat aku pakai sama sekali. Maka aku putuskan memakai baju itu dipadukan dengan rok pendek yang bergaris yang berwarna hitam juga. Kau bantu aku mengeringkan rambutku, sementara aku memakai pelembab dan bedak. Karena waktunya makin mepet, aku memasukkan sisir, lipstik, kaca, parfum dan tissue ke tas kecilku. Aku melanjutkan memakai make up di mobil sambil meracau tentang segala hal. Kau menyetir dengan tenang. Aku tahu sih kelihatannya saja tenang. Aslinya kamu panik juga. Ya kan ya kan??

        Akhirnya kita sampai juga di Laras Asri. Kita berjalan berdua, dan kita bertemu beberapa temanmu yang sudah datang terlebih dahulu. Kamu menyalami beberapa dari mereka dan aku menyalami mereka juga. Lalu kau mengajakku ke atas, ke ruangan acara. Waktu kita akan masuk ke ruangan, panitia mengatakan bahwa kursi kita akan terpisah. Aku dibawa ke tempat duduk pendamping, dan kamu duduk di tempat terpisah. Acara berjalan. Kita mendengarkan sambutan-sambutan dari civitas UKSW. Lalu sampailah pada acara penyerahan predikat kelulusan kepada pada calon wisudawan dan wisudawati. Aku mulai galau. Aku galau antara aku harus maju ke depan dan merekammu, atau memfotomu, atau tidak melakukan apa-apa ketika kau menerima tanda kelulusan. Kemudian sampailah pada momen di mana kamu berdiri dan ikut berbaris menunggu giliran dipanggil ke depan. Galauku makin maksimal saat namamu dipanggil. Pada saat kau akan maju ke panggung, aku langsung berjalan dengan cepat mendekati panggung. Dan aku mulai merekammu yang sedang menerima tanda kelulusan. Aku merekammu sampai kau turun dari panggung dan berjalan kembali ke kursimu. Kau tahu, pada saat turun dan kembali ke kursi, kau berjalan dengan cepat sekali. Aku yang mengenakan rok dan sepatu heels kesulitan mengejarmu hingga hasil video rekamanku tidak stabil. But you still look super duper charming. As always.


 Jika aku harus membuat rangking dari "The Best Moment of Us", mungkin kira-kira list-nya begini:
1.) ..................................................
2.) Donat matahari di moment ultahku
3.) Malam Pratoga-mu
4.) Malam ulangtahun dan doa bersama kita (yang dilengkapi dengan makan mie dok-dok jam 2 pagi)


Kenapa nomor satunya kosong? Karena aku masih simpan itu untuk malam di mana nanti kau memutuskan untuk menikah denganku... :)

       Malam ini aku sangat amat bahagia. Bisa melihat momen berhargamu tepat di depan mataku. Kau begitu tampan, kau begitu membuatku makin mencintaimu. Itu terjadi setiap hari, dan mungkin tidak akan pernah berhenti. Aku hampir menangis ketika kau menerima tanda kelulusan. Sungguh, aku juga merasa bahagia. Satu fase lagi telah terlewati dalam hidupmu dan aku tahu kau siap menjadi seseorang yang lebih besar dari sebelumnya. Jangan pernah putus asa, jangan pernah berhenti belajar. Ketulusan dan kejujuranmu akan membuahkan hasil suatu hari nanti. Kau akan menjadi seseorang yang sangat berguna, dan berarti. Aku sangat amat yakin itu.

         Aku sangat berterima kasih atas kemurahanmu untuk membawaku serta ke malam Pratoga ini. Kau tidak tahu betapa berharganya ini untukku. Aku menyaksikan sendiri bagaimana prosesi tanda kelulusanmu malam ini. Aku melihat sendiri betapa bahagianya kau berdiri di antara teman-temanmu dan berfoto bersama mereka. Aku menjadi saksi salah satu moment yang tidak akan pernah terulang lagi seumur hidup. Untuk semuanya di malam ini, aku sangat berterima kasih. Aku amat terharu....dan aku jadi tahu betapa berartinya aku untukmu.... :')

       Aku tidak punya cara lagi untuk mengekspresikan apa yang aku rasakan tentang "kita". Aku hanya merasa sangat amat bahagia setiap hari, bersamamu. Aku merasa ingin terus membahagiakanmu lebih dan lebih lagi. Ya memang sekarang aku belum tahu pasti bagaimana caranya, tapi aku pastikan aku akan temukan. Aku akan membuatmu bahagia. Aku janji.

  • NB : Sampaikan lagi terima kasih untuk mamamu karena telah membesarkanmu dengan penuh kasih sayang. Aku beruntung bisa menjadi bagian dari chapter hidupmu. Sungguh, ini adalah salah satu fase terbahagia dalam hidupku. Kau tidak pernah berhenti membuatku bahagia. Dan aku harap kau tidak akan pernah berhenti melakukannya. Jangan berhenti melakukannya....
  • ...dan semoga kau suka videonya....

I love you, baby.


Menunggu yang Tertampan yang lagi Pratoga

Prince Charming





Category: 0 komentar

YOU

You are like a lily
Bright and lovely
And I just can't imagine
If you go away and leavin'

Maybe I'm not a romantic girl
Or have a love as pure as a pearl
But you have to know one thing
You're the reason why I always sing

Let me hold your hand
So we can go around and cross the land
Nothing's gonna change how much you mean to me
Now I know, we're meant to be


Hasil gambar

Category: 0 komentar

Capella. Capella-ku.

Capella. Ya, kau Capella.  


Hari-hari berlalu dengan cepat, bukan? Ya, untukmu mungkin. Setahun ini berlalu lambat bagiku. Semua bergerak dengan perlahan hingga kepingan semua peristiwa masih terekam jelas di sini, di benakku. Tentang hari-hari lalu yang terasa melelahkan. Tentang momen-momen yang tak sempurna dan mengecewakan. Tentang semua yang sudah kita lalui dari awal yang akhirnya......menjadi serpihan. 


Bukan. Bukan bosan. Aku tidak bosan. Tidak ada yang salah dengan menunggu. Aku hanya lelah. Kita melihat sesuatu dari sisi yang berbeda, sisi yang teramat jauh perbedaan sudutnya, hingga aku sendiri pun gagal menemukan di mana titik perpotongannya. Nyaris tidak ada. 


Aku tahu kemampuanmu, aku tahu betapa pandainya kau. Betapa sempurnanya kau. Tapi tahukah kau bahwa yang aku inginkan adalah sesuatu yang jauh lebih sederhana dari semua itu? Kehadiranmu. 


Wanita mana yang tidak menyukai bunga. Atau pun coklat. Atau pun barang-barang yang cantik, berkelas dan berkilau. Hampir semua wanita menyukainya. Aku juga. Sungguh aku sangat suka dengan semua hadiahmu. Jika aku katakan aku tak suka, atau aku bilang “Ah, itu tak seberapa”, itu hanyalah caraku membuatmu berhenti merasa ke-GR-an. Bukankah aku tidak boleh terlihat terlalu menyayangimu? Aku harus pandai menyembunyikannya. Kau adalah tipe yang tidak bisa diberi hati, karena nantinya kau akan besar kepala.


Untuk semua hadiahmu, terima kasih. Tidak ada orang lain yang menghujaniku dengan bunga dan hadiah sebanyak yang kau dan ibuku berikan. Kau tahu banyak tentang apa yang aku butuhkan dan aku inginkan. Kau memberiku banyak hal yang aku suka. Tapi lebih dari semua itu, satu-satunya hal yang aku inginkan hanyalah kehadiranmu. 


Ya. Kealpaanmu di sini sudah terlalu lama. Aku butuh melihat senyuman itu. Aku butuh mendengarkan rajukanmu. Aku butuh genggaman tanganku yang hangat, yang selalu aku rindu. Sudah terlalu lama. Keberadaanmu tidak ternilai dengan apapun, tidak bisa ditukar dengan hadiah apapun.


Mungkin kau melihatku acuh? Aku memang begitu. Seperti kau baru mengenalku sehari dua hari. Ketika kau melakukan sesuatu yang membuatku kecewa, aku bisa teramat berbeda. Aku tidak akan berubah sampai kau tahu apa sebenarnya yang membuatku kecewa. Tentang saat-saat di mana kau seharusnya ada, tentang momen ketika seharusnya inisiatifmu tidak muncul terlambat, tentang aku yang berjuang ke Jogja demi......demi apa menurutmu? Demikian? Haha. Demi sesuatu yang aku pun tidak mengerti harus bagaimana menyikapinya.


Aku lebih memilih harus bertengkar dengan 10 orang lain, daripada denganmu. Bertengkar denganmu hanya akan diakhiri dengan menangis, karena segamblang apapun aku menjelaskan apa maksudku, kamu tidak akan mengerti. 


Bohong jika aku bilang tidak ada yang aku sesalkan. Yang aku sesalkan kenapa cerita ini harus berakhir begini. Bukan berakhir dengan take foto di tempat yang sama setiap tahun sampai kita tua. Bukan berakhir dengan “bola” kecil. Bukan berakhir dengan ikut glow run bersama. Sudahlah aku nanti makin sedih kalau harus mengingatnya satu per satu.... Aku hanya harus mulai dari awal (lagi). Apakah ada pilihan lain?

NB : Kau adalah Capella. Bintang paling terang dalam rasi Auriga. Kau bintang paling terang, dalam hidupku. Jika aku rindu, setidaknya aku masih bisa memandang namamu di skripsiku. Tersemat manis di sana....






Category: 0 komentar

Sang gadis. Dan senja.

Sang gadis yang bertemankan kembang larat layu
Menari meningkahi senja remang-remang
Meliuk pelan menjawab sapaan angin
Gemerisik daun pandan sebagai orkestra

Sang gadis menikmati senja yang merekah
Kendati hatinya membuncah, otaknya mendidih gerah
Ia syukuri detik-detik nafasnya terhembus menjadi uap
Tak hirau dingin yang tanpa permisi menyelinap

Pandangannya nanar ke barat daya
Tatapnya terpaku pada sekumpulan burung yang hendak kembali ke sarangnya
Ia iri pada mereka, karena mereka tak sendiri
Seperti halnya dirinya

Ia getol menari tanpa berhenti
Kendati ia tahu udara dari hidungnya sengal-sengal, kepayahan
Berputar ia bak gasing di atas lantai pualam
Menghalau segala pedih yang tetiba menyayat hatinya menjadi serpih-serpih

Sang gadis mulai melambat, kakinya sakit
Sengal nafasnya makin keras kentara
Butiran kristal bening meluncur dari sudut manikam matanya
Senja berlalu meninggalkannya menari tanpa cahaya, gelap semesta raya....



Category: 0 komentar

Segelas kopi dan senyummu...

Pagi menghadiahkan embun untuk tarikan nafas perdana kala kelopak mataku terbuka
Masih kulihat dipan yang sama, lemari yang sama, kaca yang sama, meja kursi yang sama
Seketika itu aku merasa ada godam yang menggempur dadaku, sakit, meremukkan hatiku
Duniaku terasa kosong, duniaku lowong
Karena apalagi, kalau bukan karena alpanya keberadaanmu di sini.

Namaku masih Nala, namamu pun masih sama

Namun semua partikel hidupku sudah berbeda, sejak terakhir kalinya kita berjumpa
Ketika aku menatapmu keluar dari pintu itu sambil menggelendot manja di lengannya
Aku masih di posisiku, di balik meja ini meracik segala macam kopi
Salah satu kopi yang kuracik, untukmu, tentu saja.

Aku syukuri setiap detik yang bisa kupakai untuk mencuri satu atau dua pandangan ke arahmu

Sungguh, hanya mencuri pandang pun aku sudah merasa terlampau bahagia
Asal bisa melihat setelan blus apa yang hari ini kau pakai, tatanan rambut apa yang kau pilih
Kau teramat eloknya, terlebih untuk digolongkan dalam ras manusia
Entah ras apa yang tepat, karena menurutku kau sepatutnya berasal dari salah satu ras peri di film Lord of The Ring

Untuk kopimu, aku selalu meraciknya istimewa

Bukan apa-apa, aku hanya ingin harimu sempurna dengan kopimu yang nikmat pada setiap pagi
Aku selalu menunggu ketika pelayan mengantarkan kopi ke mejamu, aku menunggu kau melakukan regukan yang pertama
Kau tahu kenapa? Momen regukan pertamamu sungguh elok
Gelas akan menempel di bibirmu, kopi akan meluncur masuk dan menghangatkan kerongkonganmu.
Lalu sampailah pada momen yang aku tunggu, kau tersenyum amat sangat manis sebelum meletakkan gelasmu.
Ya, kau tersenyum....dengan begitu memabukkannya

Hari-hari macam itu bergulir cukup lama. Setahun, dua tahun, tiga tahun. Hingga aku terbiasa.

Aku selalu benci dengan hari Sabtu dan Minggu, karena pada kedua hari itu, kau tak pernah muncul
Pada hari Senin, aku serasa punya tenaga ekstra. Aku akan melihatmu tersenyum lagi pagi ini!
Kopimu selalu sama, cara meracikku untukmu selalu sama, seperti yang kau suka
Dan seperti kataku, kopi untukmu selalu kubuat istimewa

Lalu tibalah hari, ketika kau tidak lagi memesan kopi untukmu sendiri

Ada seorang pria bersamamu, yang kau pesankan kopi sama dengan yang biasa kau nikmati
Kau sapa dia dengan sebuah nama, "Bara"
Aku?
Jangan tanya. Rasanya senyummu sudah tak semanis biasanya

Semenjak hari itulah, semua berubah

Tak ada lagi senyummu yang bisa kunikmati untukku sendiri
Karena aku sangat tahu untuk siapa senyum itu kau rekah
Untuk seorang pria nan tampan di sampingmu
Yang memonopoli senyummu untuk dirinya sendiri

Hingga datanglah hari penutup kita

Kau nampak begitu ceria, kau nampak teramat bahagia
Kau berjalan ke arahku, kau berkata "Terima kasih, Nala. Untuk kopi yang nikmat ini setiap hari. Besok aku akan menikah, datanglah. Setelah menikah aku akan pergi ke luar negeri."
Aku tertegun bagai tersiram seember air es, dingin, membeku
Bagaimana mungkin aku mampu melihatmu di altar itu.....dengannya?

Kau letakkan undangan itu di meja, kau katakan bahwa kau ingin dua kopi seperti biasanya

Aku tersenyum pahit dan menganggukkan kepala, tanda setuju untuk menyiapkan kopi kesukaanmu
Aku segera racikkan kopi paling istimewa itu, sembari menahan tetesan air mata agar tak runtuh serta merta
Aku kembali melihat pelayan meletakkan kopi pesananmu di meja
Untuk terakhir kalinya, aku melihatmu mengangkat gelas itu untuk kau dekatkan ke bibirmu, cairan hitam itu meluncur. Dan aku melihat senyummu.
Senyum termanis yang pernah aku lihat, yang beberapa saat lagi akan berlalu melintasi bingkai mataku...

Pagi menghadiahkan embun untuk tarikan nafas perdana kala kelopak mataku terbuka

Masih kulihat dipan yang sama, lemari yang sama, kaca yang sama, meja kursi yang sama
Seketika itu aku sadar bahwa hari-hari berhiaskan senyummu telah berlalu
Duniaku terasa kosong, duniaku lowong, namun aku harus terus hidup
Dengan sebuah harapan bahwa kelak, suatu saat nanti, aku dapat memandang senyummu lagi...



Category: 0 komentar